Home » » Menjamurnya Pengemis Di Takengon

Menjamurnya Pengemis Di Takengon

Written By Blog Foto Zen on Friday | 10:05

Sore sepulangnya aku dari Lapangan Bola, aku sempatkan singgah di kantin kampus Gajah Putih Takengon. Di kantin berukuran 8x8 meter tersebut aku bertemu dengan seorang yang pernah menjadi guruku dalam bidang ilmu photographi, bang Sahry sedang duduk sambil menghadap ke arah jalan darimana aku datang waktu itu. Sepertinya dia sedang mebicarakan seseorang atau sesuatu, terlihat dari raut wajahnya yang mencerminkan seolah pikirannya sedang menggali memory yang lama tersimpan.
    
           " Rokok nal ! " Tawarnya basa-basi.

Kusambut rokok yang di angsurkannya kehadapanku sambil basa-basi pula.

           " Itu yang ku cari dari tadi bang. " Kataku sambil tersenyum sungkan.

Lantas dia melanjutkan pembicaraannya dengan pemilik kantin yang bernama wa` Buyung, lelaki berumur 60 tahunan dengan wajah yang sendu kebapakan. Dalam usianya yang sudah setua itu wa` Buyung selain mengelola kantin bersama istri dan anak-anaknya juga menjalani profesi sebagai tukang bangunan, tergambar jelas diwajahnya kalau dia sudah kenyang mengecap asam garam kehidupan ini. Anak pertamanya gadis berumur 27 tahun telah menikah dengan seorang pemuda yang sebaya dengannya dan bekerja di sebuah intansi pemerintahan di Takengon. Selain itu dia punya dua orang anak lagi yang masih lajang, seorang gadis manis yang menunggu lamaran dan seorang pemuda tampan yang kuliah di Universitas Gajah Putih tempatnya mengelola kantin tersebut.

           " Mereka itu rata-rata penipu " Kata bang sahry melanjutkan.

         " Penampilannya boleh pengemis. Tetapi kenapa makannya diwarung, pakai handphone mahal, dan yang lebih memuakkan lagi. Malamnya mereka tidur di Losmen bahkan ada yang di hotel, pengemis macam apa itu ? " lanjutnya.

Aku mulai mengerti pokok pembahasannya ternyata pengemis, yang belakangan ini menjamur di Takengon. 

Pasca Tsunami, Kota dingin ini mulai didatangi pengemis dari berbagai daerah dipesisir Aceh. Dalam kurun waktu dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 saja jumlahnya sudah mencapai angka ratusan, ada yang datang seorang diri, bergerombol dua atau tiga orang yang rata-rata berlatar belakang suku Aceh dilihat dari ciri-ciri wajah tirus dengan hidung lancip dan kulit coklat tua. 

Ketika ditanyai alasan mereka juga beragam, ada yang mengatakan rumah da keluarganya di telan Tsunami, ada yang mengatakan dirinya korban konflik, ada yang dengan berani menjawab harta mereka dijarah pejabat berwenang. Beberapa bahkan menyatakan dengan tanpa malu kalau dirinya tidak punya keahlian apa-apa selain mengemis, padahal anggota badannya masih lengkap secara fisik. 
             
Masyarakat Aceh Tengah tentunya tidak asing lagi dengan yang namanya pengemis, terutama masyarakat yang berdomisili di pusat kota Takengon, sebab dalam kurun waktu beberapa tahun hingga tahun 2011 ini, setiap bulannya mereka melihat selalu ada orang asing yang datang dengan ciri-ciri yang siapapun melihatnya langsung dapat menyimpulkan kalau itu adalah pengemis. Dengan pakaian kumal tidak layak pakai, wajah belepotan debu jalanan, mata merah seolah kurang tidur, membawa kantong selempang berbahan dasar karung bekas menaruh beras atau plastik kresek bekas belanjaan.

Sejauh ini upaya pemerintah untuk melakukan penertiban sangat minim, seolah mereka menutup mata pada permasalahan sosial yang berkeliling disamping kantornya, merayap disetiap lampu merah yang dilewatinya, serta singgah ditempat sampah didepan rumah dinasnya untuk mencari sesuap nasi bekas makanan mereka. Yang terlihat peduli justru para pengawal mereka, penduduk sipil berpakaian coklat kusam yang setiap hari berjaga digerbang kantor dan rumah dinas mereka, yang  terbentuk kesatuannya pada masa pemerintahan SBY, siapa lagi kalau bukan Satuan Polisi Pamong Praja. Polisi instant yang selain menjadi penjaga gerbang juga menjadi algojo yang ditakuti para pedagang sayuran dipasar-pasar di Takengon.

Setiap subuh mereka telah siap dengan seragam dan baret berbulunya, dengan pentungan ditangan kanan seolah akan melibas siapa saja yang melanggar batas aman menjajakan barang dagangan. Dengan dalih kebersihan dan ketertiban mereka dengan angkuhnya melempar, menginjak-injak serta menendang barang dagangan milik pedagang kalau waktu berjualan sudah lewat jam delapan pagi. 

***
Para pengemis yang kini memenuhi jalan-jalan dan lorong-lorong di kota Takengon seolah-olah kembalikan ingatan kita pada masa DOM, karena alasan sebagian dari mereka yang mengemis adalah karena mereka korban konflik yang tidak disantuni kefakirannya, tidak diganti kerugiannya setelah masa darurat sipil berakhir. Tidak di akui status sosialnya karena mereka tidak membantu pembangunan dengan profesinya. Takengon, 25 Juni 2011

       
Share this article :


 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Takengon News - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified byZen Angkasa
Proudly powered by Blogger