Menurut kisah yang diceritakan secara turun temurun, Putri Karna diutus oleh abangnya, Joharsyah yang pada saat itu memangku jabatan Reje Linge ke-II untuk mengantarkan Bawar Linge, kepada Sultan Aceh yang tidak lain adalah Adik mereka. Bawar Linge diberikan untuk dibuat tiruannya oleh Sultan Aceh pada saat itu, tetapi karena seluruh pandai besi dari pesisir tidak dapat membuat tiruannya maka Bawar yang asli tersebut diberikan kepada Sengeda, karena sebelumnya Sultan menugaskan Sengeda untuk menangkap Gajah Putih dan menjanjikan Bawar sebagai hadiahnya.
Sementara Bawar tersebut seharusnya dibawa kembali kelinge oleh Putri Karna, mengetahui bahwa bawar tersebut telah diberikan kepada Sengeda, Reje Linge Murka dan menyuruh Putri Karna kembali ke Pesisir untuk mengambilnya. Tetapi malang bagi Putri Karna karena Bawar tersebut tidak juga dapat dibawanya pulang. Dalam perjalanan pulang Putri Karna memutuskan untuk berhenti sejenak di Buntul Kubu, Desa Tunyang karena disamping kelelahan karena dua kali pulang-pergi antara Linge dan Pesisir, Sang Putri juga bingung mencari jawaban apa kiranya yang tepat yang akan disampaikannya kepada Reje Linge.
Tanpa diduga sama sekali, dimasa peristirahatannya Sang Putri jatuh sakit, sebelum menemui ajalnya sang putri sempat memberi perintah kepada para pengawalnya untuk mengabarkan kejadian tersebut kepada dua raja.
Begitu menerima kabar, Reje Linge lah yang pertama kali sampai ke Buntul Kubu dan memakamkan Putri Karna, setelah pemakaman Reje Linge berinisiatif berangkat kepesisir untuk mengabarkan kejadian tersebut.
Ditengah perjalanan, disuatu tempat bernama " Salah Reje " secara kebetulan Reje Linge berpapasan dengan Sultan yang kebetulan dalam perjalanan ke Buntul Kubu, Desa Tunyang. Disanalah terjadi perdebatan panjang dan karena murkanya keluarlah sumpah serapah Reje Linge kepada sultan yang sampai saat ini masih diingat secara turun temurun oleh masyarakat gayo.
|
Gerbang masuk kelokasi makam (kiri) Jalan Kedesa Tunyang dan Cekal (kanan) |
|
Prasasti Makam setinggi 1,5 meter, diresmikan oleh Bupati Muhammad M. Tamy (masa itu masih dalam wilayah Kabupaten Aceh Tengah). |
|
Tulisan (Singkih kin papan sesuk kin inyon, kami gere lupen kin kubah kuburmu) artinya lebih kurang Masyarakat Gayo tidak akan melupakan sejarah bahwa Datu Beru pernah ada dan melengkapi sejarah Gayo. |
|
Qurrata Ainin (Datu Beru) Wafat pada tahun 1500 Masehi-Abad ke-XII |
|
Makam ni dirawat dengan baik, pejiarah juga dapat dengan bebas masuk kelokasi makam karena tidak dikunci, hanya yang perlu diperhatikan adalah melepas alas kaki. |
|
11 Makam lain juga ditemukan disekitar Makam tersebut, namun tidak ada narasumber yang tahu nama dari kesebelas makam tersebut. |
|
Didalam komplek makam juga terdapat sebuah Mushola untuk beribadah, tidak jauh dari situ ada sebuah balai untuk tempat peristirahatan pejiarah. |
|
Dikelilingi taman bunga dan pepohonan, membuat tempat ini tetap asri dan hijau serta nyaman untuk dikunjungi para pejiarah. Letaknya tidak jauh dari jalan Provinsi yang menghubungkan antara Takengon-Bener Meriah-Bireuen, tepatnya didesa Tunyang, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Lokasi dapat dijangkau menggunakan kendaraan roda 4 sekitar 10 menit dari jalan Provinsi. 15 Juni 2013-takengonnews.blogspot.com |
:)
ReplyDelete